Hukuman Dalam Islam
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur mata kuliah
Fiqh Jinayah
Disusun oleh :
Zohri :1314.017
Dosen pembimbing :
H. Fahmil Samiran, Lc.M.Ag
Fakultas Syariah Jurusan Hukum Tata Negara
Institut Agama Islam Negeri
IAIN Bukittinggi
Semester 4
T.A 2016/1437
KATA PENGANTAR
Alhamdulilahhirabil`alamin, segala puji pemakalah ucapkan kehadirat Allah swt yang telah melimpahkan segala petolongan kepada pemakalah dalam
menyusun makalah ini, dengannya inilah kita di beri kemampuan untuk menyelesaikan makalah ini, shalawat
berseta salam tak bosan bosannya kita ucapkan kepada rosulullah saw,
keluarganya, kapada sahabatnya beliau yang telah memberikan tauladan kepada
umat manusia tentang dalamnya makna kehidupan didunia ini berdasarkan tuntunan
wahyu-Nya
Makalah ini dibut diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah “FIQH
JINAYAH” program studi jinayah siyasah institut agama islam negeri (IAIN) bukittinggi, dengan judul “HUKUMAN
DALAM ISLAM”
Dalam penulisaan makalah ini kami mengucapkan terimakasih kepada
bapak dosen yang telah memberikan
bimbingan dan harapan. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, maka dari itu kami mengharapkan kritikan dan masukan dari semua
pihak untuk menyempurnakan makalah ini.Akhirnya allah swt, jualah tempat kami
bertawakal, semoga bantuan dan partisipasi dari berbagai pihak dibalas dari
berbagai pihak dibalas oleh allah swt, dengan pahala yang berlipat ganda,
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami dan pembaca.
Bukittinggi,19 Maret 2017
Penulis : zohri
1314.07
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR...............................................................................................................i
DAFTAR
ISI.............................................................................................................................ii
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang..............................................................................................................iii
B.
Rumusan
masalah........................................................................................................iii
C.
Tujuan
penulisan..........................................................................................................iii
D.
Manfaat
penulisaan......................................................................................................iii
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Pengertian
hukum
Islam...............................................................................................1
B.
Ruang
lingkup dan
pembagian.....................................................................................2
C.
Teori
penghukuman dan macam macam penghukuman...............................................3
D.
Tujuan
dan fungsi.........................................................................................................4
E.
Macam
macam hukuman..............................................................................................5
F.
Penggabungan
hukuman...............................................................................................5
G.
Gugurnya
sanksi hukuman...........................................................................................7
BAB
III PENUTUP
A.
Kesimpulan................................................................................................................11
B.
Saran...........................................................................................................................11
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Setiap manusia pasti menginginkan dirinya jadi orang
yang pintar dan pandai, nah supaya kita bisa menjadi orang yang pintar dan
pandai, maka terutama yang harus kita lakukan adalah belajar yang giat
(membaca, menulis dan diskusi) jika tiga syarat itu bisa kita penuhi insya
Allah kita bisa.
Jalan untuk mewujutkan supaya kita bisa mempelajari hukum itu tidaklah
semudah membalikkan telapak tangan, pastilah kita menemukan kesulitan dalam
mempelajarinya, dan setiap orang harus siap untuk melewati kesulitan itu, gagal
atau berhasil adalah pilihan, setiap orang pasti pernah mengalami kegagalan,
gagal adalah hal yang wajar, banyak orang yang gagal dan akhirnya ia menjadi
orang yang berhasil atau sukses.
Ini disebabkan mereka menyikapi kegagalan dengan positif, mereka tidak
menjadikan kegagalan sebagai penghancur cita cita. Justru dengan kegagalan yang
mereka alami, mereka semakin termotivasi untuk berhasil, setiap manusia pasti
memiliki motivasi dalam hidup. Motivasi juga dapat diartikan dengan tujuan,
motivasi dapat muncul dari dalam diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
Motivasi yang muncul dari diri sendiri lebih kuat jika dibandingkan dengan
motivasi yang muncul dari orang lain dan lingkungan.
B.
Rumusan masalah
1)
Apa
yang dimaksud hukum islam?
2)
Apa
fungsi hukum?
3)
Bagaimana
cara perapannya?
C.
Tujuan penulisan
Tujuan
dari pembuatan makalah ini adalah untuk menambah wawasan serta untuk dapat
menjawab beberapa pertanyaan yang tercantum diatas
D.
Manfaat penulisan
Mahasiswa dapat
memahami tentang hukum hukum islam yang telah pemakalah jelaskan didalam
makalah, serta mahasiswa tidak melakan sesutu dengan sewenang wenangnya saja.
Hukuman
A.
Pengertian hukum pidana islam
Dalam hukum islam, istilah hukum
pidana disebut dengan fiqh jinayah. Jinayah berarti “perbuatan yang
dilarang oleh syara’ baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta maupun
lainnya”. Pengertian lain yang lebih operasional adalah “segala ketentuan hukum
mengenai tindak pidana atau kriminal yang di lakukan mukallaf (orang yang dapat di bebani kewajiban),
sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci dalil
al-qur’an dan hadis nabi muhammad saw.
Berdasarkan kedua pengertian
tersebut dapat dinyatakan bahwa, fiqh jinayah adalah ilmu yang
membicarak[1]an
tentang jenis jenis hukum yang diperintah dan dilarang Al-Qur’an dan Hadis Nabi
Saw., serta hukuman yang akan dikenakan kepada orang yang melanggar baik
perintah maupun larangan tersebut (tindak kriminal). Yang dimaksud dengan
tindak kriminal adalah perbuatan kejahatan yang mengganggu ketertiban umum
serta tindakan melawan undang undang.
Pandangan tersebut sejalan dengan
perspektif hukum konvensional tentang hukum pidana, yakni “hukum mengenai delik
yang di ancam dengan pidana” atau dengan kata lain “serangkai peraturan yang mengatur masalah
tindak pidana dan hukumannya”. Ada dua kata yang sama sama memiliku pengertian
melawan hukum dalam pengertian hukum yakni kata, “delik” dan “tindak pidana”.
Delik atau bahasa latinnya delictum berarati tindak pidana atau sering
juga dipergunakan istilah lain strafbaar feit yang[2]
meupakan istilah dalam pidana belanda.
Hukuman dalam islam terdiri dari
dari dua macam yaitu hukuman didunia an hukuman diakhirat. Hukuman yang terkait
dengan masalah pidana diistilahkan dengan ‘uqubah dan hukuman yang
terkait dengan akhirat diistilahkan dengan ‘iqab jadi istilah dalam
hukum pidana islam untuk hukuman adalah “uqubah”. kata ini merupakan masdar
dari kata kerja “aqabah”. Secara etimologi kata ini berarti ganjaran kepada
seseorang akibat perbuatan jahat yang dilakukannya. Uqabah merupakan nama untuk
ganjaran menurut istilah ‘uqubah adalah satu balasan yang ditetapkan untuk
kemaslahatan umum karena kedurhakaan terhadap pemerintah syai’ dalam definisi
lain bahwa ‘uqubah adalah ganjaran (balasan) yang ditetapkan oleh syari’ untuk
pencegahan perbuatan apa yang dilarang dan pencegahan meninggalkan apa yang
diperintahkan.
Dari definisi hukuman yang
dikemukakan diatas, ada tiga unsur yang harus dipenuhi dalam suatu hukuman
yaitu :
1.
Adanya
unsur ganjaran yang menjadi inti dari ‘uqubah.
2.
Ada
unsur kedurhakaan atau pelanggaran terhadap pemerintah syai’ yang menjadi sebab
adanya gambaran.
3.
Ada
unsur pencegahan sebagai tujuan dari ganjaran.[3]
Moeljatno, yang dikutip oleh Andi
Hamzah merumuskan hukum pidana, yang meliputi hukum pidana materiel dan hukum
pidana formil sebagai berikut.
Hukum pidana adalah sebagian dari
pada keseluruhan yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar dasar dan
aturan aturan untuk :
1)
Menentukan
perbuatan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan
disertai ancaman atau sanksi (sic) yang berupa pidana tertentu bagi barang
siapa yang melanggar larangan tersbut.
2)
Menentukan
kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar
larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhkan pidana sebagaimana yang
diancamkan.
3)
Menentukan
dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang
yang disangkatelah melanggar larangan tersebut.
B.
Ruang lingkup dan pembagian
Baik didalam
hukum islam maupun hukum kosvensional ternyata terdapat kesamaan meskipun tidak
serupa tetang ruang lingkup dan hukum pidana. Yakni menyangkut; subyek (pelaku
kejahatan), objek (perbuatan yang dilarang), dan sanksi (hukuman yang akan
ditetapkan). Tentang subyek (pelaku kejahatan) bahasanya lebih banyak ditekankan
kepada kondisi dan pelaku kejahatan yang bisa dijatuhi hukuman atau sering juga
disebut pertanggungjawaban pidana. Seperti ungkapan Hanafi, bahwa “tentang
orang yang melanggar larangan, sering juga disebut dengan literatur hukum
pidana sebagai kesalahan dan pertanggungjawaban pidana”.
Namun bila
merujuk pada sumber klasik dari fikih Islam, umunya para Ulama membagi fikih jinayah (hukum pidana Islam) pada dua bagian besar yakni, jenis perbuatan
pidana (jarimah) dan jenis
hukuman yang ditetapkan (‘uqubah). sedang-kan menyangkut keadaan pelaku
(subyek/pertanggungjawaban pidana) umumnya menjadi satu bagian dari pembahasan
jenis perbuatan pidana. Meskipun bahasanya subyek (pertanggungjawaban pidana) ini
tidak dipisahkan secara tersendiri, tetapi tetap masuk dalam ruang lingkup yang
dibahas dalam hukum pidana Islam. Bahkan, porsi pembahasannya lebih besar bila
dibandingkan dua bahasan lainnya, yakni menyangkut janis perbuatan pidana dan
jenis hukumannya.
Dalam hukum
konvensional, para ahli hukum pidana tetap membagi ruang lingkup hukum pidana
secara terpisah pada tiga bagian seperti disebutkan sebelumnya. Misalnya yang
dikemukankan oleh L.Packer. ia menyatakan, hukum pidana pada dasarnya
C.
Teori Penghukuman dan Macam-Macam Hukuman
1.
Teori
penghukuman
Teori hukuman
erat kaitannya dengan tujuan hukuman. Hukuman diterapkan untuk mencapai
kemaslahatan individu maupun masyarakat, meskipun hukuman itu tidak disenangi.
Al-Zai’ali mengatakan bahwa tujuan hukuman itu adalah Al-zajru. Al-zajru
mempunyai dua fungsi yaitu :
Ø Mencegah pelaku pidana untuk tidak mengulangi perbuatan yang pernah
ia lakukan atau agar ia tidak berlarut larut dalam kejahatannya.
Ø Agar orang lain tidak melakukan perbuatan yang serupa, karena ia
tahu bahwa hukuman akan ditegakkan terhadap siapa saja yang melakukan kejahatan
Apabila hukuman
itu bertujuan agar pelaku jera dan tidak mengulangi perbuatanya, maka hukuman
yang dijatuhkan itu seharusnya benar benar mempunyai dayajangkau refresif dan
prepentif. Penetapan tujuan hukum seperti ini sasaran akhinya adalah untuk
mendidik pelaku pidana agar dia bisa merubah sifatnya menjadibenci pada
kejahatan demi untuk mencapai ridha Allah dan ketenteraman jiwanya. Sehingga ia
tidak mau melakukan kejahatan baik dilihat orang lain ataupun tidak, diawasi
oleh aparat atau tidak, yang penting dia benci pada kejahatan itu adalah itu
adalah kesadaran diri beragama.
D.
Tujuan dan Fungsi[4]
Dalam kajian
hukum islam, tujuan hukum disebut dengan maqasid al-syari’ah, yakni
maksud atau tujuan disyariatkannya hukum Islam, dengan bahasa lain disebut
hikmat dan illat atibi
menunjukan maqasid al-syari’ah kepada lima bidang.
a)
Untuk
memelihara agama (hifd al-din)
b)
Memelihara
jiwa (hifd al-nafs)
c)
Memelihara
akal (hifd al-aql)
d)
Memelihara
keturunan (hifdz al-nasl)
e)
Memelihara
harta (hifd al-mal).
Berdasarkan
uraian tersebut, jelas bahwa tujuan hukum Islam termasuk juga hukum pidana,
tidak hanya melindungi kepentingan individu tetapi juga kepentingan masyarakat
dan negara, bahkan lebih dalam lagi adalah kepentingan yang berhubungan dengan
keyakinan agama, baik menyangkut jiwa, akal atau potensi berfikir, keturunan
maupun harta kekayaan. Jadi wilayah yang menjadi tujuan perlindungan dari hukum
pidana Islam ini jelas luas sekali karena menyangkut sluruh aspek kehidupan
manusia, kaitanya dengan sesama manusia maupun dengan Sang Pencipta.
Begitu pula
halnya dengan beberapa rumusan tujuan hukum yang ada hukum konvensional.
Umumnya mereka menyatakan bahwa tujuan hukum pidana adalah “untuk melindungi
kepentingan orang perseorangan atau hak asasi manusia, dan melindungi
kepentingan masyarakat dan nagar dengan pertimbangan yang serasi dari
kejahatan/tindakan tercela disatupihak dan dari tindakan penguasa yang sewenang
wenang dilain pihak”. Karena itu, menurut Muladi, yang dilindungi oleh hukum pidana
bukan saja individu, tetapi juga negara, masyarakat, serta harta benda milik
individu.
Bahkan, tujuan
hukum pidana menurut negara-negara sosialis adalah “untuk menjalin keharmonisan
antara kepentingan kepentingan publik dan perorangan, ia harus juga melindungi
kediktatoran proletar, tata tertib masyarakat, (demokrasi rakyat), pelaksaan
administrasi negara seluruh sistem mahluk sosial, ekonomi sosial dan
kepentingan kepentingan perorangan”. Sedangkan bagi negara indonesia, tujuan
hukum pidana jelas adalah untuk mencapai tujuan pembentukan negara indonesia
seperti disebutkan dalam undang undang dasar negara republik indonesia 1945
yang telah diamandemen empat kali.
E.
Macam macam hukuman
Dalam hukum
pidana islam, hukuman berbeda beda namanya bila dilihat dari berbagai sudut
pandang.
a)
Hukuman
pokok (al-‘uqubah al-ashliyah) yaitu hukuman hukuman yang telah
ditentukan secara khusus untuk suatu tindak pidana. Misalnya hukuman potong
tangan untuk pidana pencurian, hukuman dera seratus kali untuk pidana zina.
b)
Hukuman
pengganti (al-‘uqubah al-badaliyah) yaitu hukuman hukuman yang
menggantikan hukuman pokok ketika hukuman pokok tidak bisa dilaksanakan karena
adanya halangan syari’ misalnya hukuman diyat sebagai hukuman pengganti
dari hukum kisas.
c)
Hukum
penyerta (al-‘uqubah al-tabi’iyah) yaitu hukuman hukuman yang mengiringi
hukuman pokok yang berlaku secara otomatis tanpa dicantum dari hakim. Misalnya
hilangnya hak mandapatkan kewarisan bagi orang yang membunuh pewaris setelah
dijatuhi hukuman kisas.
d)
Hukuman
pelengkap (al ‘uqubah al-takmiliyah) yaitu hukuman yang dijatuhkan untuk
melengkapi pelaksanaan hukuman pokok. Misalnya hukuman menggantungkan tangan
pencuri yang telah dipotong dipundaknya. Hukuman ini dapat dilakukan apabila
ada dictum hakim ketika menjatukan hukuman pokok.
F.
Penggabungan hukum.
Gabungan hukum
dapat terjadi manakalah terdapat gabungan tindakan kejahatan. Gabungan tindak
kejahatan dapat pula terjadi ketika seseorang melakukan beberapa macam tindak
pidana yang masing-masing belum dapat putusan hakim. Gabungan tindak pidana
adakalanya abstrak (lahiriyah) dan ada kalanya hakiki (nyata) gabungan tindak
pidana yang lahiriyah adalah apabila seseorang melakukan tindak pidana yang
dapat diancam dengan beberapa macam hukuman. Seperti pengniaya petugas keamanan,
ancaman hukuamannya bisa karena melawan petugas dan juga kerena menganiaya.
Gabungan tindak pidana yang hakiki adalah jika terjadi beberapa macam tindak
pidana yang hakiki adalah apabila terjadi beberapa macam tindak pidana yang
masing masingnya pidana yang berdiri sendiri. Seperti penganiayaan dan
membunuh.
Mengenai hukum
yang akan yang akan dijatuhkan pada perbuatan pidana yang berganda tersebut,
dikalangan fukaha mengemukakan jalan fikirannya tetang teori penggabungan hukum
ini dengan dua cara yaitu :
1)
Teori
al-tadakhul (saling melengkapi)
Menurut teori
ini, ketika terjadi gabungan perbuatan tindak pidana, hukumannya hanya
dijatukan satu macam hukuman saja. Hal ini didasakan pada dua pertimbangan :
a)
Melakuan
perbuatan pidananya dilakukan secara berganda, tetapi bentuk pidananya hanya
satu macam yang dilakukan secara berulang ulang, maka sudah sepantasnya hukuman
hanya dijatuhkan secara satu macam pula, selama belum ada keputusan hakim pada
perbuatan perbuatan yang sebelumnya.
b)
Meskipun
perbuatan pidana dilakukan berganda dan berbeda beda macamnya, namun hukumannya
bisa saling melengkapinya dan cukup hanya dijatuhkan satu hukuman untuk
melindungi kepentingan atau tujuan yang sam. Misalnya apabila seseorang
melakukan pencabulan, juga melakukan pemerkosaan, maka atas kedua perbuatan yang dilakukannya
hanya dijatuhkan satu hukuman, karens hukumsn yang dijatuhi itu adalah untuk
memelihara kepentingan yang sama yang memelihara kehormatan.
2.
Teori
al-jubb (penyerapan)
Maksud teori
penyerapan adalah menjatukan suatu hukuman dimana hukuman hukuman yang lain
tidak dapat dijatuhkan, disebabkan sudah diserap oleh hukuman yang lebih berat.
Hukuman yang lebih berat itu adalah hukuman mati menyerap hukuman hukuman
lainnya. Dikalangan fuqaha tidak ada kesepakatan tentang penerapan toeri al-jubb ini. Imam
malik, abu hanifah dan ahmad dari teori teori penerapan hukum yang mereka
kemukakan, nampaknya memakai teori al-jubb, tetapi mereka berbeda pendapat
tentang jangkauan pemakaian teori ini. Sedang imam syafi’ tidak memakai teori al
jubb karena itu setiap perbuatan pidana, masing masing harus dijatuhi hukuman.
Menurut imam
malik, apabila hukuman hadd berkumpul dengan hukuman mati yang merupakan hak
Allah, maka hukuman hadd tersebut telah diserap oleh hukuman mati, kerena itu
hukuman hadd tidak dapat dijalankan, kecuali hadd qazaf, tidak bisa diserap
oleh hukuman mati. Menurut imam ahmad, apabila terjadi dua tinda pidana hudud,
maka hukuman mati saja yang dijalankan dan hukuman hukuman lain diserap oleh
hukuman mati seperti hukuman hukuman potong tangan karena pencuri diserap oleh
hukuman rajam kalau hukum hudud berkumpul dengan hukuman yang merupakan hak hak
manusia yang salah satunya diancam dengan hukuman hukuman mati, maka hak hak
manusia dilaksanakan terlebih dahulu dan hukuman yang merupakan hak Allah
diserap oleh hukuman mati baik hukuman mati baik hukuman mati itu karena
ataupun sebagai hukuman kisas.
Menurut abu
hanifah, pada prinsifnya apabila terdapat gabungan hukuma yang merupakan hak
manusia dengan hukum yang merukan hak Allah, maka hukum yang merupakan hak
manusialah yang didahulukan, karena biasanya manusia ingin secepatnya
mendapatkan haknya.
G.
Gugurnya sanksi hukumya
Yang membedakan
antara hapusnya pertanggunjawaban pidana dengan gugurnya hukuman adalah bahwa
pada hapusnya pertanggungjawaban pidana penilaiannya menitik beratkan pada
keadaan psikis dan mental pelaku pidana sehingga ia tidak dapat dituntut
dihadapan hukuman walaupun ia telah melakukan perbuatan yang terlarang akan
tetapi hakim tidak bisa menjatuhkan vonis. Keadaan psikis dan mental pelaku
pidana yang dimaksud adalah gila, terpaksa, mabuk, dan usia dibawah umur.
Sedangkan pengertian gugurnya hukum adalah tidak dapat dilaksanakan
dilaksanakan hukuman yang divonnis oleh hakim, berhubungan tempat untuk melaksanakan
hukuman tidak ada lagi atau waktu untuk melaksanakan hukuman tidak ada lagi
atau waktu untuk malaksanakan sudah lampau atau sebab lain yang dibenarkan oleh
syara’
Adapun sebab
sebab yang menggurkan hukuman adalah :
a)
Meninggalnya
pelaku
Apabila hukuman
yang dijatukan oleh hakim berhubungan dengan badan. Maka hukumannya menjadi
gugur dengan meninggalnya siterhukum karena pertanggung jawaban pidana itu
adalah pertanggungjawaban pribadi. Akan tetapi bila hukuman itu berupa
pembebanan terhadap siterhukum seperti diyat, denda dan penyitaan terhadap
hartanya maka maka hukuman masih bisa di jalankan. Yang menjadi permasalahan
oleh fuqaha adalah mengenai hukuman kisas yang telah diponis oleh hakim,
sebelum hukuman terlaksana siterhukum meninggal apakah diganti dengan diyat
atau tidak. Menurut Imam Malik dan Abu Hanifah dengan meninggal siterhukum baik
secara wajar ataupun dianiaya, gugurlah hukuman kisas dan terhadap hatanya
tidak dikenakan diyat. Menurut imam Syafi’ dan Ahmad meninggalnya siterhukum
baik secara wajar ataupun dianiaya menyebabkan gugurnya hukuman kisas, tetapi
meninggalkan diyat yang dibebankan pada hartanya. Kedua fuqaha ini beralasan
bahwa untuk pidana pembunuhan adadua hukuman yaiti kisas dan diyat. Kalau tak
bisa salah satunya diperolah maka harus diganti dengan yang lain.
b)
Hilangnya
agota badan yang akan di kisas
Apabila anggota
badan terhukum yang mau diqhisash, tidak ada lagi setelah divonnis oleh
hakim, menjadi sebabnya hukuman.
c)
Taubat
pelaku pidana.
Sudah
menjadi konsensus dikalangan fuqaha’ bahwa taubat seseorang dapat menggugurkan
hukuman apabila hukuman itu terkait dengan masyarakat.
d)
Perdamaian
Perdamaian yang
diadakan antara korban dan walinya dengan pelaku pidana dapat menggugurkaan
hukuman pada pidana yang diancam dengan hukuman qhisash dan diyat. Perdamaian
itu bisa berpinda dari hukuman qhisash kepada diyat atau perdamaian berupa
benda yang akan diterima oleh korban tetang jumlah harta yang disepakati oleh
kedua belah pihak.
e)
Pengampuan.
Pengampuan
merupakan salah satu sebab yang dapat menggugurkan hukuman pada pidana yang
diancam dengan hukuman qhisash dan diyat seta ta’zir. Pada pembunuhan dan
penganiayaan, hak untuk mengampuni itu diberikan pada korban atau wali.
f)
Diwarisinya
qhisash.
Hukuman qhisah
menjadi gugur apabila hukuman itu diwariskan kepada orang yang tidak puna
kewenangan atas qhisash tersebut.
g)
Daluarsa.
Daluarsa adalah
berlakunya suatu masa tertentu untuk melaksanakan suatu keputusan peradilan.
Apabila pada masa yang ditentukan putusan itu tidak juga dilaksanakan, maka
hukuman menjadi daluarsa.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Demikianlah
makalah pembahasan kami mengenai hukuman dalam islam. Hukuman dalam islam
terdiri dari dari dua macam yaitu hukuman didunia an hukuman diakhirat. Hukuman
yang terkait dengan masalah pidana diistilahkan dengan ‘uqubah dan
hukuman yang terkait dengan akhirat diistilahkan dengan ‘iqab jadi
istilah dalam hukum pidana islam untuk hukuman adalah “uqubah”. kata ini
merupakan masdar dari kata kerja “aqabah”. Secara etimologi kata ini berarti
ganjaran kepada seseorang akibat perbuatan jahat yang dilakukannya. Uqabah
merupakan nama untuk ganjaran menurut istilah ‘uqubah adalah satu balasan yang
ditetapkan untuk kemaslahatan umum karena kedurhakaan terhadap pemerintah syai’
dalam definisi lain bahwa ‘uqubah adalah ganjaran (balasan) yang ditetapkan
oleh syari’ untuk pencegahan perbuatan apa yang dilarang dan pencegahan
meninggalkan apa yang diperintahkan.
B.
Saran
Penulis menyadari dalam pembuatan
makalah ini tidak sempurna dan masih banyak yang harus diperbaiki, oleh karena
itu, penulis mohon saran dan kritikan yang membangun dari pembaca, agar untuk
dikemudian hari penulis dapat menyusun makalah yang lebih baik lagi, semoga
makalah ini bermanfaat untuk semua pihak.
DAFTAR PUSTAKA
Saepudin Jahar, Asep, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis,
(Jakarta: kencana, 2013)
Wardi Muslich, Ahmad, Hukum Pidana Menurut Al-Qur’an,
(Jakarta Timur: Diadit Media, 2007)
Nuraisyah, Hukum Pidana Islam (Bukittinggi: Sekolah Tinggi
Agama Islam Negeri)
[1] Asep
Saepudin Jahar, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis, (Jakarta: kencana, 2013).,hal,111
[2] Drs. H.
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Menurut Al-Qur’an, (Jakarta Timur: Diadit
Media, 2007).,hal,16
[3] Dra.
Nuraisyah, M.Ag, Hukum Pidana Islam (Bukittinggi: Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri).,Hal, 200
[4] Asep
Saepudin Jahar, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis, (Jakarta: kencana,
2013).,hal,119
CasinoSites.One Review: $500 No Deposit Bonus
BalasHapusCasinoSites.One Review: $500 의정부 출장마사지 No Deposit Bonus · Betway Casino · 바카라 사이트 Bodog Casino · Betway Casino 서울특별 출장샵 · 1xbet app Grosvenor 경상북도 출장샵 · Microgaming · Spin.