Sabtu, 19 Maret 2016



Hukuman Dalam Islam
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur mata kuliah
Fiqh Jinayah
 
Disusun oleh :
Zohri                    :1314.017
Dosen pembimbing :
H. Fahmil Samiran, Lc.M.Ag
Fakultas Syariah Jurusan Hukum Tata Negara
Institut Agama Islam Negeri
IAIN Bukittinggi
Semester 4
T.A 2016/1437


KATA PENGANTAR
Alhamdulilahhirabil`alamin, segala puji pemakalah ucapkan  kehadirat Allah swt  yang telah melimpahkan  segala petolongan kepada pemakalah dalam menyusun makalah ini, dengannya inilah kita di beri kemampuan  untuk menyelesaikan makalah ini, shalawat berseta salam tak bosan bosannya kita ucapkan kepada rosulullah saw, keluarganya, kapada sahabatnya beliau yang telah memberikan tauladan kepada umat manusia tentang dalamnya makna kehidupan didunia ini berdasarkan tuntunan wahyu-Nya
Makalah ini dibut diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah “FIQH JINAYAH” program studi jinayah siyasah institut agama islam negeri  (IAIN) bukittinggi, dengan judul “HUKUMAN DALAM ISLAM”
Dalam penulisaan makalah ini kami mengucapkan terimakasih kepada bapak dosen  yang telah memberikan bimbingan dan harapan. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami mengharapkan kritikan dan masukan dari semua pihak untuk menyempurnakan makalah ini.Akhirnya allah swt, jualah tempat kami bertawakal, semoga bantuan dan partisipasi dari berbagai pihak dibalas dari berbagai pihak dibalas oleh allah swt, dengan pahala yang berlipat ganda, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami dan pembaca.



Bukittinggi,19 Maret 2017

Penulis : zohri 1314.07




DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar belakang..............................................................................................................iii
B.     Rumusan masalah........................................................................................................iii
C.     Tujuan penulisan..........................................................................................................iii
D.    Manfaat penulisaan......................................................................................................iii
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian hukum Islam...............................................................................................1
B.     Ruang lingkup dan pembagian.....................................................................................2
C.     Teori penghukuman dan macam macam penghukuman...............................................3
D.    Tujuan dan fungsi.........................................................................................................4
E.     Macam macam hukuman..............................................................................................5
F.      Penggabungan hukuman...............................................................................................5
G.    Gugurnya sanksi hukuman...........................................................................................7
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan................................................................................................................11
B.     Saran...........................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA







BAB I
 PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Setiap manusia pasti menginginkan dirinya jadi orang yang pintar dan pandai, nah supaya kita bisa menjadi orang yang pintar dan pandai, maka terutama yang harus kita lakukan adalah belajar yang giat (membaca, menulis dan diskusi) jika tiga syarat itu bisa kita penuhi insya Allah kita bisa.
Jalan untuk mewujutkan supaya kita bisa mempelajari hukum itu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, pastilah kita menemukan kesulitan dalam mempelajarinya, dan setiap orang harus siap untuk melewati kesulitan itu, gagal atau berhasil adalah pilihan, setiap orang pasti pernah mengalami kegagalan, gagal adalah hal yang wajar, banyak orang yang gagal dan akhirnya ia menjadi orang yang berhasil atau sukses.
Ini disebabkan mereka menyikapi kegagalan dengan positif, mereka tidak menjadikan kegagalan sebagai penghancur cita cita. Justru dengan kegagalan yang mereka alami, mereka semakin termotivasi untuk berhasil, setiap manusia pasti memiliki motivasi dalam hidup. Motivasi juga dapat diartikan dengan tujuan, motivasi dapat muncul dari dalam diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Motivasi yang muncul dari diri sendiri lebih kuat jika dibandingkan dengan motivasi yang muncul dari orang lain dan lingkungan.
B.     Rumusan masalah
1)      Apa yang dimaksud hukum islam?
2)      Apa fungsi hukum?
3)      Bagaimana cara perapannya?
C.    Tujuan penulisan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk menambah wawasan serta untuk dapat menjawab beberapa pertanyaan yang tercantum diatas
D.    Manfaat penulisan
Mahasiswa dapat memahami tentang hukum hukum islam yang telah pemakalah jelaskan didalam makalah, serta mahasiswa tidak melakan sesutu dengan sewenang wenangnya saja.



Hukuman
A.    Pengertian hukum pidana islam
Dalam hukum islam, istilah hukum pidana disebut dengan fiqh jinayah. Jinayah berarti “perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta maupun lainnya”. Pengertian lain yang lebih operasional adalah “segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau kriminal yang di lakukan mukallaf  (orang yang dapat di bebani kewajiban), sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci dalil al-qur’an dan hadis nabi muhammad saw.
Berdasarkan kedua pengertian tersebut dapat dinyatakan bahwa, fiqh jinayah adalah ilmu yang membicarak[1]an tentang jenis jenis hukum yang diperintah dan dilarang Al-Qur’an dan Hadis Nabi Saw., serta hukuman yang akan dikenakan kepada orang yang melanggar baik perintah maupun larangan tersebut (tindak kriminal). Yang dimaksud dengan tindak kriminal adalah perbuatan kejahatan yang mengganggu ketertiban umum serta tindakan melawan undang undang.
Pandangan tersebut sejalan dengan perspektif hukum konvensional tentang hukum pidana, yakni “hukum mengenai delik yang di ancam dengan pidana” atau dengan kata lain  “serangkai peraturan yang mengatur masalah tindak pidana dan hukumannya”. Ada dua kata yang sama sama memiliku pengertian melawan hukum dalam pengertian hukum yakni kata, “delik” dan “tindak pidana”. Delik atau bahasa latinnya delictum berarati tindak pidana atau sering juga dipergunakan istilah lain strafbaar feit yang[2] meupakan istilah dalam pidana belanda.
Hukuman dalam islam terdiri dari dari dua macam yaitu hukuman didunia an hukuman diakhirat. Hukuman yang terkait dengan masalah pidana diistilahkan dengan ‘uqubah dan hukuman yang terkait dengan akhirat diistilahkan dengan ‘iqab jadi istilah dalam hukum pidana islam untuk hukuman adalah “uqubah”. kata ini merupakan masdar dari kata kerja “aqabah”. Secara etimologi kata ini berarti ganjaran kepada seseorang akibat perbuatan jahat yang dilakukannya. Uqabah merupakan nama untuk ganjaran menurut istilah ‘uqubah adalah satu balasan yang ditetapkan untuk kemaslahatan umum karena kedurhakaan terhadap pemerintah syai’ dalam definisi lain bahwa ‘uqubah adalah ganjaran (balasan) yang ditetapkan oleh syari’ untuk pencegahan perbuatan apa yang dilarang dan pencegahan meninggalkan apa yang diperintahkan.
Dari definisi hukuman yang dikemukakan diatas, ada tiga unsur yang harus dipenuhi dalam suatu hukuman yaitu :
1.      Adanya unsur ganjaran yang menjadi inti dari ‘uqubah.
2.      Ada unsur kedurhakaan atau pelanggaran terhadap pemerintah syai’ yang menjadi sebab adanya gambaran.
3.      Ada unsur pencegahan sebagai tujuan dari ganjaran.[3]
Moeljatno, yang dikutip oleh Andi Hamzah merumuskan hukum pidana, yang meliputi hukum pidana materiel dan hukum pidana formil sebagai berikut.
Hukum pidana adalah sebagian dari pada keseluruhan yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar dasar dan aturan aturan untuk :
1)      Menentukan perbuatan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi (sic) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersbut.
2)      Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhkan pidana sebagaimana yang diancamkan.

3)      Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangkatelah melanggar larangan tersebut.
B.     Ruang lingkup dan pembagian
Baik didalam hukum islam maupun hukum kosvensional ternyata terdapat kesamaan meskipun tidak serupa tetang ruang lingkup dan hukum pidana. Yakni menyangkut; subyek (pelaku kejahatan), objek (perbuatan yang dilarang), dan sanksi (hukuman yang akan ditetapkan). Tentang subyek (pelaku kejahatan) bahasanya lebih banyak ditekankan kepada kondisi dan pelaku kejahatan yang bisa dijatuhi hukuman atau sering juga disebut pertanggungjawaban pidana. Seperti ungkapan Hanafi, bahwa “tentang orang yang melanggar larangan, sering juga disebut dengan literatur hukum pidana sebagai kesalahan dan pertanggungjawaban pidana”.
Namun bila merujuk pada sumber klasik dari fikih Islam, umunya para Ulama membagi  fikih jinayah  (hukum pidana Islam)  pada dua bagian besar yakni, jenis perbuatan pidana (jarimah)  dan jenis hukuman yang ditetapkan (‘uqubah). sedang-kan menyangkut keadaan pelaku (subyek/pertanggungjawaban pidana) umumnya menjadi satu bagian dari pembahasan jenis perbuatan pidana. Meskipun bahasanya subyek (pertanggungjawaban pidana) ini tidak dipisahkan secara tersendiri, tetapi tetap masuk dalam ruang lingkup yang dibahas dalam hukum pidana Islam. Bahkan, porsi pembahasannya lebih besar bila dibandingkan dua bahasan lainnya, yakni menyangkut janis perbuatan pidana dan jenis hukumannya.
Dalam hukum konvensional, para ahli hukum pidana tetap membagi ruang lingkup hukum pidana secara terpisah pada tiga bagian seperti disebutkan sebelumnya. Misalnya yang dikemukankan oleh L.Packer. ia menyatakan, hukum pidana pada dasarnya
C.    Teori Penghukuman dan Macam-Macam Hukuman
1.    Teori penghukuman
Teori hukuman erat kaitannya dengan tujuan hukuman. Hukuman diterapkan untuk mencapai kemaslahatan individu maupun masyarakat, meskipun hukuman itu tidak disenangi. Al-Zai’ali mengatakan bahwa tujuan hukuman itu adalah Al-zajru. Al-zajru mempunyai dua fungsi yaitu :
Ø  Mencegah pelaku pidana untuk tidak mengulangi perbuatan yang pernah ia lakukan atau agar ia tidak berlarut larut dalam kejahatannya.
Ø  Agar orang lain tidak melakukan perbuatan yang serupa, karena ia tahu bahwa hukuman akan ditegakkan terhadap siapa saja yang melakukan kejahatan
Apabila hukuman itu bertujuan agar pelaku jera dan tidak mengulangi perbuatanya, maka hukuman yang dijatuhkan itu seharusnya benar benar mempunyai dayajangkau refresif dan prepentif. Penetapan tujuan hukum seperti ini sasaran akhinya adalah untuk mendidik pelaku pidana agar dia bisa merubah sifatnya menjadibenci pada kejahatan demi untuk mencapai ridha Allah dan ketenteraman jiwanya. Sehingga ia tidak mau melakukan kejahatan baik dilihat orang lain ataupun tidak, diawasi oleh aparat atau tidak, yang penting dia benci pada kejahatan itu adalah itu adalah kesadaran diri beragama.
D.    Tujuan dan Fungsi[4]
Dalam kajian hukum islam, tujuan hukum disebut dengan maqasid al-syari’ah, yakni maksud atau tujuan disyariatkannya hukum Islam, dengan bahasa lain disebut hikmat dan illat  atibi menunjukan maqasid al-syari’ah kepada lima bidang.
a)      Untuk memelihara agama (hifd al-din)
b)      Memelihara jiwa (hifd al-nafs)
c)      Memelihara akal (hifd al-aql)
d)      Memelihara keturunan (hifdz al-nasl)
e)      Memelihara harta (hifd al-mal).
Berdasarkan uraian tersebut, jelas bahwa tujuan hukum Islam termasuk juga hukum pidana, tidak hanya melindungi kepentingan individu tetapi juga kepentingan masyarakat dan negara, bahkan lebih dalam lagi adalah kepentingan yang berhubungan dengan keyakinan agama, baik menyangkut jiwa, akal atau potensi berfikir, keturunan maupun harta kekayaan. Jadi wilayah yang menjadi tujuan perlindungan dari hukum pidana Islam ini jelas luas sekali karena menyangkut sluruh aspek kehidupan manusia, kaitanya dengan sesama manusia maupun dengan Sang Pencipta.
Begitu pula halnya dengan beberapa rumusan tujuan hukum yang ada hukum konvensional. Umumnya mereka menyatakan bahwa tujuan hukum pidana adalah “untuk melindungi kepentingan orang perseorangan atau hak asasi manusia, dan melindungi kepentingan masyarakat dan nagar dengan pertimbangan yang serasi dari kejahatan/tindakan tercela disatupihak dan dari tindakan penguasa yang sewenang wenang dilain pihak”. Karena itu, menurut Muladi, yang dilindungi oleh hukum pidana bukan saja individu, tetapi juga negara, masyarakat, serta harta benda milik individu.
Bahkan, tujuan hukum pidana menurut negara-negara sosialis adalah “untuk menjalin keharmonisan antara kepentingan kepentingan publik dan perorangan, ia harus juga melindungi kediktatoran proletar, tata tertib masyarakat, (demokrasi rakyat), pelaksaan administrasi negara seluruh sistem mahluk sosial, ekonomi sosial dan kepentingan kepentingan perorangan”. Sedangkan bagi negara indonesia, tujuan hukum pidana jelas adalah untuk mencapai tujuan pembentukan negara indonesia seperti disebutkan dalam undang undang dasar negara republik indonesia 1945 yang telah diamandemen empat kali.
E.     Macam macam hukuman
Dalam hukum pidana islam, hukuman berbeda beda namanya bila dilihat dari berbagai sudut pandang.
a)      Hukuman pokok (al-‘uqubah al-ashliyah) yaitu hukuman hukuman yang telah ditentukan secara khusus untuk suatu tindak pidana. Misalnya hukuman potong tangan untuk pidana pencurian, hukuman dera seratus kali untuk pidana zina.
b)      Hukuman pengganti (al-‘uqubah al-badaliyah) yaitu hukuman hukuman yang menggantikan hukuman pokok ketika hukuman pokok tidak bisa dilaksanakan karena adanya halangan syari’ misalnya hukuman diyat sebagai hukuman pengganti dari hukum kisas.
c)      Hukum penyerta (al-‘uqubah al-tabi’iyah) yaitu hukuman hukuman yang mengiringi hukuman pokok yang berlaku secara otomatis tanpa dicantum dari hakim. Misalnya hilangnya hak mandapatkan kewarisan bagi orang yang membunuh pewaris setelah dijatuhi hukuman kisas.
d)     Hukuman pelengkap (al ‘uqubah al-takmiliyah) yaitu hukuman yang dijatuhkan untuk melengkapi pelaksanaan hukuman pokok. Misalnya hukuman menggantungkan tangan pencuri yang telah dipotong dipundaknya. Hukuman ini dapat dilakukan apabila ada dictum hakim ketika menjatukan hukuman pokok.
F.     Penggabungan hukum.
Gabungan hukum dapat terjadi manakalah terdapat gabungan tindakan kejahatan. Gabungan tindak kejahatan dapat pula terjadi ketika seseorang melakukan beberapa macam tindak pidana yang masing-masing belum dapat putusan hakim. Gabungan tindak pidana adakalanya abstrak (lahiriyah) dan ada kalanya hakiki (nyata) gabungan tindak pidana yang lahiriyah adalah apabila seseorang melakukan tindak pidana yang dapat diancam dengan beberapa macam hukuman. Seperti pengniaya petugas keamanan, ancaman hukuamannya bisa karena melawan petugas dan juga kerena menganiaya. Gabungan tindak pidana yang hakiki adalah jika terjadi beberapa macam tindak pidana yang hakiki adalah apabila terjadi beberapa macam tindak pidana yang masing masingnya pidana yang berdiri sendiri. Seperti penganiayaan dan membunuh.
Mengenai hukum yang akan yang akan dijatuhkan pada perbuatan pidana yang berganda tersebut, dikalangan fukaha mengemukakan jalan fikirannya tetang teori penggabungan hukum ini dengan dua cara yaitu :
1)      Teori al-tadakhul (saling melengkapi)
Menurut teori ini, ketika terjadi gabungan perbuatan tindak pidana, hukumannya hanya dijatukan satu macam hukuman saja. Hal ini didasakan pada dua pertimbangan :
a)      Melakuan perbuatan pidananya dilakukan secara berganda, tetapi bentuk pidananya hanya satu macam yang dilakukan secara berulang ulang, maka sudah sepantasnya hukuman hanya dijatuhkan secara satu macam pula, selama belum ada keputusan hakim pada perbuatan perbuatan yang sebelumnya.
b)      Meskipun perbuatan pidana dilakukan berganda dan berbeda beda macamnya, namun hukumannya bisa saling melengkapinya dan cukup hanya dijatuhkan satu hukuman untuk melindungi kepentingan atau tujuan yang sam. Misalnya apabila seseorang melakukan pencabulan, juga melakukan pemerkosaan,  maka atas kedua perbuatan yang dilakukannya hanya dijatuhkan satu hukuman, karens hukumsn yang dijatuhi itu adalah untuk memelihara kepentingan yang sama yang memelihara kehormatan.
2.      Teori al-jubb (penyerapan)
Maksud teori penyerapan adalah menjatukan suatu hukuman dimana hukuman hukuman yang lain tidak dapat dijatuhkan, disebabkan sudah diserap oleh hukuman yang lebih berat. Hukuman yang lebih berat itu adalah hukuman mati menyerap hukuman hukuman lainnya. Dikalangan fuqaha tidak ada kesepakatan tentang  penerapan toeri al-jubb ini. Imam malik, abu hanifah dan ahmad dari teori teori penerapan hukum yang mereka kemukakan, nampaknya memakai teori al-jubb, tetapi mereka berbeda pendapat tentang jangkauan pemakaian teori ini. Sedang imam syafi’ tidak memakai teori al jubb karena itu setiap perbuatan pidana, masing masing harus dijatuhi hukuman.
Menurut imam malik, apabila hukuman hadd berkumpul dengan hukuman mati yang merupakan hak Allah, maka hukuman hadd tersebut telah diserap oleh hukuman mati, kerena itu hukuman hadd tidak dapat dijalankan, kecuali hadd qazaf, tidak bisa diserap oleh hukuman mati. Menurut imam ahmad, apabila terjadi dua tinda pidana hudud, maka hukuman mati saja yang dijalankan dan hukuman hukuman lain diserap oleh hukuman mati seperti hukuman hukuman potong tangan karena pencuri diserap oleh hukuman rajam kalau hukum hudud berkumpul dengan hukuman yang merupakan hak hak manusia yang salah satunya diancam dengan hukuman hukuman mati, maka hak hak manusia dilaksanakan terlebih dahulu dan hukuman yang merupakan hak Allah diserap oleh hukuman mati baik hukuman mati baik hukuman mati itu karena ataupun sebagai hukuman kisas.
Menurut abu hanifah, pada prinsifnya apabila terdapat gabungan hukuma yang merupakan hak manusia dengan hukum yang merukan hak Allah, maka hukum yang merupakan hak manusialah yang didahulukan, karena biasanya manusia ingin secepatnya mendapatkan haknya.
G.    Gugurnya sanksi hukumya
Yang membedakan antara hapusnya pertanggunjawaban pidana dengan gugurnya hukuman adalah bahwa pada hapusnya pertanggungjawaban pidana penilaiannya menitik beratkan pada keadaan psikis dan mental pelaku pidana sehingga ia tidak dapat dituntut dihadapan hukuman walaupun ia telah melakukan perbuatan yang terlarang akan tetapi hakim tidak bisa menjatuhkan vonis. Keadaan psikis dan mental pelaku pidana yang dimaksud adalah gila, terpaksa, mabuk, dan usia dibawah umur. Sedangkan pengertian gugurnya hukum adalah tidak dapat dilaksanakan dilaksanakan hukuman yang divonnis oleh hakim, berhubungan tempat untuk melaksanakan hukuman tidak ada lagi atau waktu untuk melaksanakan hukuman tidak ada lagi atau waktu untuk malaksanakan sudah lampau atau sebab lain yang dibenarkan oleh syara’
Adapun sebab sebab yang menggurkan hukuman adalah :
a)      Meninggalnya pelaku
Apabila hukuman yang dijatukan oleh hakim berhubungan dengan badan. Maka hukumannya menjadi gugur dengan meninggalnya siterhukum karena pertanggung jawaban pidana itu adalah pertanggungjawaban pribadi. Akan tetapi bila hukuman itu berupa pembebanan terhadap siterhukum seperti diyat, denda dan penyitaan terhadap hartanya maka maka hukuman masih bisa di jalankan. Yang menjadi permasalahan oleh fuqaha adalah mengenai hukuman kisas yang telah diponis oleh hakim, sebelum hukuman terlaksana siterhukum meninggal apakah diganti dengan diyat atau tidak. Menurut Imam Malik dan Abu Hanifah dengan meninggal siterhukum baik secara wajar ataupun dianiaya, gugurlah hukuman kisas dan terhadap hatanya tidak dikenakan diyat. Menurut imam Syafi’ dan Ahmad meninggalnya siterhukum baik secara wajar ataupun dianiaya menyebabkan gugurnya hukuman kisas, tetapi meninggalkan diyat yang dibebankan pada hartanya. Kedua fuqaha ini beralasan bahwa untuk pidana pembunuhan adadua hukuman yaiti kisas dan diyat. Kalau tak bisa salah satunya diperolah maka harus diganti dengan yang lain.
b)      Hilangnya agota badan yang akan di kisas
Apabila anggota badan terhukum yang mau diqhisash, tidak ada lagi setelah divonnis oleh hakim,  menjadi sebabnya hukuman.
c)      Taubat pelaku pidana.
Sudah menjadi konsensus dikalangan fuqaha’ bahwa taubat seseorang dapat menggugurkan hukuman apabila hukuman itu terkait dengan masyarakat.
d)     Perdamaian
Perdamaian yang diadakan antara korban dan walinya dengan pelaku pidana dapat menggugurkaan hukuman pada pidana yang diancam dengan hukuman qhisash dan diyat. Perdamaian itu bisa berpinda dari hukuman qhisash kepada diyat atau perdamaian berupa benda yang akan diterima oleh korban tetang jumlah harta yang disepakati oleh kedua belah pihak.
e)      Pengampuan.
Pengampuan merupakan salah satu sebab yang dapat menggugurkan hukuman pada pidana yang diancam dengan hukuman qhisash dan diyat seta ta’zir. Pada pembunuhan dan penganiayaan, hak untuk mengampuni itu diberikan pada korban atau wali.
f)       Diwarisinya qhisash.
Hukuman qhisah menjadi gugur apabila hukuman itu diwariskan kepada orang yang tidak puna kewenangan atas qhisash tersebut.
g)      Daluarsa.
Daluarsa adalah berlakunya suatu masa tertentu untuk melaksanakan suatu keputusan peradilan. Apabila pada masa yang ditentukan putusan itu tidak juga dilaksanakan, maka hukuman menjadi daluarsa.










BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Demikianlah makalah pembahasan kami mengenai hukuman dalam islam. Hukuman dalam islam terdiri dari dari dua macam yaitu hukuman didunia an hukuman diakhirat. Hukuman yang terkait dengan masalah pidana diistilahkan dengan ‘uqubah dan hukuman yang terkait dengan akhirat diistilahkan dengan ‘iqab jadi istilah dalam hukum pidana islam untuk hukuman adalah “uqubah”. kata ini merupakan masdar dari kata kerja “aqabah”. Secara etimologi kata ini berarti ganjaran kepada seseorang akibat perbuatan jahat yang dilakukannya. Uqabah merupakan nama untuk ganjaran menurut istilah ‘uqubah adalah satu balasan yang ditetapkan untuk kemaslahatan umum karena kedurhakaan terhadap pemerintah syai’ dalam definisi lain bahwa ‘uqubah adalah ganjaran (balasan) yang ditetapkan oleh syari’ untuk pencegahan perbuatan apa yang dilarang dan pencegahan meninggalkan apa yang diperintahkan.
B.     Saran
Penulis menyadari dalam pembuatan makalah ini tidak sempurna dan masih banyak yang harus diperbaiki, oleh karena itu, penulis mohon saran dan kritikan yang membangun dari pembaca, agar untuk dikemudian hari penulis dapat menyusun makalah yang lebih baik lagi, semoga makalah ini bermanfaat untuk semua pihak.








DAFTAR PUSTAKA
Saepudin Jahar, Asep, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis, (Jakarta: kencana, 2013)
Wardi Muslich, Ahmad, Hukum Pidana Menurut Al-Qur’an, (Jakarta Timur: Diadit Media, 2007)
Nuraisyah, Hukum Pidana Islam (Bukittinggi: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri)




[1] Asep Saepudin Jahar, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis, (Jakarta: kencana, 2013).,hal,111
[2] Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Menurut Al-Qur’an, (Jakarta Timur: Diadit Media, 2007).,hal,16
[3] Dra. Nuraisyah, M.Ag, Hukum Pidana Islam (Bukittinggi: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri).,Hal, 200
[4] Asep Saepudin Jahar, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis, (Jakarta: kencana, 2013).,hal,119

1 komentar:

  1. CasinoSites.One Review: $500 No Deposit Bonus
    CasinoSites.One Review: $500 의정부 출장마사지 No Deposit Bonus · Betway Casino · 바카라 사이트 Bodog Casino · Betway Casino 서울특별 출장샵 · 1xbet app Grosvenor 경상북도 출장샵 · Microgaming · Spin.

    BalasHapus